Selasa, 02 Oktober 2012

uang dan pembiayaan kebijakan moneter

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Semua Negara praktis pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya krisis. Krisis ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam atau yang lebih dikenal dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih dikuasai kapitalis dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung kepada mekanisme pasar. Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut ekonomi berusaha diperbaiki dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis murni dalam perekonomian suatu Negara.

Untuk indonesia sendiri krisis ekonomi atau krisis moneter bukanlah hal baru karena indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang melanda perekonomiannya. Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda nagara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar kolaps hingga membuat pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-), kurs rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Hal ini tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai Hiperinflasi. Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang pada awalnya indonesia merupakan Negara yang ekonominya paling tangguh di asia tenggara menjadi tidak berkutik akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari awal.

Kondisi perekonomian Indonesia selalu mengalami krisis, belum lagi masalah inflasi yang pernah dialami Indonesia. Yang menjadi pertanyaan saat ini masih cukup kuatkah perekonomian kita untuk menghadapi pola perekonomian dunia saat ini?. Mengapa demikian, karena saat ini perekonomian indonesia masih sangat tergantung dengan ekonomi global khususnya negara-negara maju. Hal ini bisa dibuktikan dengan bila perekonomian dunia mengalami keamjuan akan dikuti pula dengan kemajuan ekonomi indonesia, namun bila suatu ekonomi dunia mengalami krisis maka indonesia adalah salah satu negara yang paling parah mengalaminya. Seperti krisis yang selama ini terjadi semua penyebabnya berasal dari luar dan tidak ada yang berasal dari dalam perekonomian indonesia sendiri. Untuk itu perlu bagi kami kelompok 1 untuk mengkaji lebih lanjut tentang fenomena krisis moneter di Indonesia. Maka dalam makalah ini kelompok akan membahas sekilas tentang kondisi moneter, Inflasi dan Uang beredar, Reformasi kebijakan moneter decade 1980-an dan Kebijakan moneter di Indonesia pra dan pasca krisis.

1.2  Batasan Masalah
Dari latar belakang diatas maka penulis membatasi pembahasan makalah ini hanya kepada kebijakan moneter terhadap kondisi moneter, Inflasi dan Uang beredar, Reformasi kebijakan moneter decade 1980-an dan Kebijakan moneter di Indonesia pra dan pasca krisis.

1.3  Rumusan Masalah
Melihat banyaknya masalah yang menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi dan masalah ekonomi global lainya. Maka penulis merumuskan masalah diatas menjadi beberapa poin bahasan, yaitu:
1.      Bagaimanakah kebijakan dan kondisi moneter yang terjadi di Indonesia?
2.      Bagaimanakah pengaruh jumlah uang beredar dengan inflasi?
3.      Bagaimanakah reformasi kebijakan moneter decade 1980-an?
4.      Bagaimana pula kebijakan moneter Indonesia pra dan pasca mengalam krisis?

1.4  Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka yan menjadi tijuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      Menjelaskan kebijakan moneter dan kondisi moneter yang terjadi
2.      Menjelaskan pengaruh jumlah uang yang beredar dan inflasi
3.      Menjelaskan reformasi kebijakan moneter decade 1980-an
4.      Menjelaskan kebijakan moneter Indonesia pra dan pasca krisis

1.5  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca pada umumnya mampu memahami kondisi moneter yang terjadi di Negara kita selain itu juga memahami bagaimana pengaruh peredaran uang dan dampaknya terhadap inflasi. Sehingga pembaca dapat lebih bijak dalam mengambil tindakn ekonomi yang bermanfat dan berguna nantinya.








BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Kebijakan dan Kondisi Moneter
      Perbedaan antara orde Baru dan orde lama paling jelas terlihat dalam masalah perkembangan moneter dan keuangan. Meningkatnya deficit anggaran belanja, Menyebabkan lonjakan tingkat inflasi pada decade 1960-an. Namun pemerintah soeharto secara mengejutkan berhasil mengatasi masalah inflasi dengan cepat dan efektif. Bahkan prestasi penting dari pemerintah sejak 1966 adalah komitmennya untuk mengendalikan inflasi. Terdapat masa- masa penuh inflasi khusunya selama masa puncak kejayaan minyak bumi. Hanya belakangan ini, instrument kebijakan ekonomi tidak bersifat tumpul dan terbelakang. Sehinggan masalah inflasi bisa cepat ditangani.
Terdapat lima ciri pokok yang menonjol dalam perilaku dan hasil dari kebijakan moneter dan pembangunan Finansial:
1.      Neraca modal yang terbuka sejak tahun 1970. Sebagai konsekuensinya , gejolak eksternal seperti fluktuasi harga minyak bumi dengan cepat memberikan pengaruhnya terhadap perekonomian domestic, menimbulkan masalah-masalah tertentu terhadap manajemen uang beredar dalam jangka pendek.
2.      Nilai tukar mata uang tetap ( dengan dolar AS, dan bukan dengan sekelompok mata uang ) selama satu periode yang panjang.
3.      Prinsip anggaran belanja berimbang. Digunakan karena alasan politis yang dibenarkan dan dalam beberapa hal mengakibtkan berkurangnya fleksibelitas kebijaka fiscal pemerintah.
4.      Dalam perilaku kebijakan moneter dan fiscal terdapat keteganga dan tarik-menarik :
a.       Antara regulasi dan juga pengendalian lansung, yang secara luas merupakan cirri perekonomian pada decade 1970-an, dan campur tangan tidak lansung melalui mekanisme pasar.
b.      Tentang sejauh mana tujuan-tujuan sosial dan pemerataan dapat dicapai bersama- sama tujuan ekonomi makro.
5.      Transformasi institusi moneter dan finasial terjadi dengan sangat drmatis. “Restocking” dalam kondisi moneter juga terjadi dan pada mulanya sebagai reaksi tehadap mata uang rupiah.
2.1.1 Kondisi Moneter
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Penting mengingatkan perlunya membentengi perekonomian Indonesia dari ancaman krisis yang pasti akan datang lagi suatu saat nanti. Indonesia perlu memperkuat struktur ekonomi nasional sejak saat ini untuk membentengi perekonomian dari ancaman krisis global yang masih menghantui dunia. "Sebab siklus krisis ekonomi akan terus terjadi dan berulang sehingga pemerintah Indonesia akan berupaya memperkuat kestabilan ekonomi nasional dan meningkatkan kesehatan keuangan negara," kata Boediono saat membuka Seminar Strategi Globalisasi Perekonomian Indonesia dalam rangka HUT ke 60 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) diJakarta,Senin(29/11)[1]

Untuk membentengi perekonomian kita dari ancaman krisis yang pasti akan datang lagi suatu saat nanti, salah satunya adalah perkuatan struktur ekonomi nasional kita. "Teori neoklasik sering mengabaikan aspek struktur ini, keuangan negara yang sehat merupakan jangkar kestabilan ekonomi nasional. Namun, hal ini bukan satu-satunya cara untuk menghidari krisis.

Agar tidak terjadi gelembung ekonomi yang besar harus diberlakukan disiplin kepada seluruh pelaku ekonomi lain, mulai dari pemerintah, perbankan, korporasi bahkan di tingkat rumah tangga. Pemerintah Indonesia tetap harus waspada terhadap kemungkinan krisis yang akan datang. Alur krisis ekonomi di dunia hampir selalu sama dan hal ini akan menjadi pelajaran bagi pemerintah.

Sebab, krisis selalu diawali dari sikap bermewah-mewahan atau optimisme berlebihan (irrational exuberance) kemudian diikuti timbulnya gelembung ekonomi (bubble). Setelah itu, diikuti keadaan yang disebut dengan unsustainable gap, dan puncaknya kebangkrutan dan krisis kepercayaan (collapse of confidence). Kita jangan mengulang kesalahan atau kejadian itu. Biasanya ini disebabkan pada satu hal kurangnya disiplin pada manusia, orang hanyut dalam kemewahan yang tidak rasional. Jika negara dan pemerintah ikut hanyut dalam arus maka keadaannya akan sangat parah.

2.1.2 Ekonomi Indonesia
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar  telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar  dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15% dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37%dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata.
2.1.3 Gambaran Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia
Mata uang
Tahun fiscal
Tahun kalender
Organisasi perdagangan
Statistik [1]
Peringkat PDB
PDB
$863,6 milyar (2005)
Pertumbuhan PDB
4,8% (2004)
PDB per kapita
$3.200 (2004)
PDB berdasarkan sector
pertanian (16.6%), industri (43.6%), jasa (39.9%) (2004)
6.6% (2004)
Pop di bawah garis kemiskinan
8.% (1998)
Tenaga kerja
105,7 juta (2004)
Tenaga kerja berdasarkan pekerjaan
produksi 46%, pertanian 16%, jasa 39% (1999)
8.7% (2004)
Industri utama
minyak bumi dan gas alam; tekstil, perlengkapan, dan sepatu; pertambangan, semen, pupuk kimia, plywood; karet; makanan; pariwisata
Perdagangan Internasional[2]
Ekspor
$113,99 milyar (2007)
Komoditi utama
Mitra dagang
Jepang 22,3%, Amerika Serikat 12,1%, Singapura 8,9%, Korea Selatan 7,1%, Cina 6.2% (2003)
Impor
$74,40 milyar (2007)
Komoditi utama
mesin dan peralatan; kimia, bahan bakar, makanan
Mitra dagang
Jepang 13%, Singapura 12,8%, Cina 9,1%, Amerika Serikat 8,3%, Thailand 5,2%, Australia 5,1%, Korea Selatan 4,7%, Arab Saudi 4,6% (2003)
Keuangan publik [3]
Utang pemerintah
$454.3 milyar (56.2% dari GDP)
Pendapatan
$40.91 milyar (2004)
Belanja
$44,95 milyar (2004)
Bantuan ekonomi
$43 milyar dari IMF (1997–2000)

2.2 Inflasi Dan Uang Beredar
Di Indonesia, pada periode 1988 – 2006 terdapat hubungan yang positif antara tingkat inflasi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2).

 Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)
Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta.

Gambar di atas menggambarkan hubungan antara supply dan demand terhadap uang. Sumbu horizontal menggambarkan jumlah uang beredar, sumbu vertikal kiri menggambarkan nilai uang, 1/P, dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga, P. Sumbu-sumbu vertikal menggambarkan bahwa saat nilai uang tinggi, maka tingkat harga akan rendah, dan sebaliknya pada tingkat harga yang tinggi maka nilai uang akan rendah. Kedua kurva menggambarkan supply dan demand terhadap uang. Kurva supply berbentuk vertikal karena jumlah uang beredar ditetapkan oleh Bank Sentral. Kurva demand memiliki slope negatif, mengindikasikan bahwa saat nilai uang rendah dan tingkat harga tinggi, maka permintaan terhadap uang akan tinggi. Pada titik equilibrium, A, jumlah uang yang diedarkan dan jumlah uang yang diminta masyarakat berada dalam keseimbangan. Ekuilibrium antara supply dan demand terhadap uang menentukan nilai uang dan tingkat harga barang dan jasa. Jika Bank Sentral mengubah jumlah uang yang beredar, misalnya dengan mencetak lebih banyak uang, ekuilibrium supply dan demand terhadap uang akan berubah seperti ditunjukkan pada gambar berikut:


Bertambahnya jumlah uang beredar menggeser kurva supply dari MS1 ke MS2, sehingga titik equilibrium ikut bergeser dari A ke B. Akibatnya, nilai uang turun dari ½ ke ¼, dan tingkat harga equilibrium naik dari 2 ke 4. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar mendorong terjadinya kenaikan harga yang menyebabkan nilai uang menjadi turun.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dampak langsung dari injeksi moneter yang dilakukan Bank Sentral adalah meningkatnya supply uang. Sebelum injeksi, perekonomian berada pada titik equilibrium A. Pada titik ini, tingkat harga seimbang dengan jumlah uang yang diminta masyarakat. Saat jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama masyarakat memiliki lebih banyak uang dari yang mereka minta. Meningkatnya jumlah uang menyebabkan naiknya permintaan terhadap barang dan jasa. Jika jumlah barang dan jasa yang diminta tidak seimbang dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka akan terjadi peningkatan harga. Peningkatan harga kemudian mendorong naiknya jumlah uang yang diminta masyarakat. Pada akhirnya, perekonomian akan mencapai equilibrium baru, yaitu titik B, saat jumlah uang yang diminta kembali seimbang dengan jumlah uang yang diedarkan.

Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat harga ditentukan dan berubah
seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money). Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara jumlah uang beredar, output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut:
M x V = P x Y

Dimana P adalah tingkat harga (GDP deflator), Y adalah jumlah output (real GDP),
M adalah jumlah uang beredar, PxY adalah nominal GDP, dan V adalah velocity of money (perputaran uang) mengukur tingkat dimana uang bersirkulasi dalam perekonomian (Mankiw, 2003). Atau dapat dikatakan mengukur kecepatan perpindahan uang dari satu orang ke orang lainnya. Velocity of money dapat dihitung melalui pembagian antara GDP nominal dengan jumlah uang beredar. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut:
V = ( P x Y ) / M

Persamaan di atas dapat dianggap sebagai suatu definisi yang menunjukkan perputaran V sebagai rasio GDP nominal, PY, terhadap kuantitas uang M. Persamaan tersebut merupakan suatu identitas. Jika satu atau lebih variabel itu berubah, maka satu atau lebih variabel lainnya juga harus berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya, jika jumlah uang beredar meningkat, maka akibatnya dapat dilihat dari ketiga variabel lainnya: harga harus naik, kuantitas output harus naik, atau kecepatan perputaran uang harus turun.
2.2.1 Hubungan Jumlah Uang Beredar Dan Inflasi Di Indonesia
Friedman dan Schwartz menulis dua makalah yang mendokumentasi sumber dan pengaruh perubahan dalam kuantitas uang selama periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975 di Amerika Serikat. Secara empiris, Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi hubungan antara inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar. Hasil penelitian Friedman dan Schwartz menunjukkan bahwa di Amerika Serikat decade dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, dan dekade-dekade dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi yang rendah.

Hasil yang sama diperoleh dari perbandingan tingkat rata-rata inflasi dan tingkat rata-rata pertumbuhan uang di lebih dari 100 negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian tersebut, terdapat hubungan yang jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-negara dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, sementara negara-negara dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inlfasi yang rendah.

Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10-tahun.

Makalah ini akan mencoba menganalisis hubungan antara inflasi dengan jumlah uang beredar di Indonesia. Data yang digunakan adalah data tahun 1988 – 2006 yang bersumber dari Asian Development Bank, sebagai berikut:
Tabel 1. Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar dan
PDB Nominal

2.3 Reformasi Kebijakan Moneter Dekade 1980-an
Pembangunan sesudah tahun 1982 berbeda dengan pembangunan pada decade 1970-an dalam tiga hal penting:
1.      Harga Minyak bumi jatuh dan tetap rendah. Karena itu dampaknya terhadap inflasi adalah dampak moneter akibat membaiknya terms of trade menghilang, dan dalam tahun-tahun tertentu menyebabkan dampak yang negative.
2.      Pemerintah secara perlahan mulai mengembangkan pendekatan yang lebih canggih terhadap mnajemen kebijakan moneter, khususnya melalui peningkatan campur tangan secara tidak lansung ketimbang pengendalian dan pengaturan lansung.
3.      Terutama karena campur tangan tidak lansung, tingkat inflasi tetap rendah dan selama decade 1980-an pada umumnya, tingkat inflasi kurang dari 10 persen.
            Pada decade ini banyak reformasi besar terjadi, yang Pertama dilaksanakan pada bulan juni 1983. Bank Negara kini diizinkan untuk menentukan sebagian tingkat bunga deposito dan pinjaman,kecuali dalam kasus program prioritas yang masih banyak berlansung. Batas maksimum pemberian kredit sebagian telah ditiadakn dan ketersediaan kredit bersubsidi dikurangi.Selain itu juga dilakukan operasi pasar yang lebih terbuka dengan dikembangkannya instrument kebijakan moneter yang baru.  Yang kedua bulan oktober 1988, semua bank dalam negeri jika sehat diizinkan untuk secara bebas membuka cabang-cabang baru, serta bank-bank swasta baru diizinkan untuk beroperasi. Dan selanjutnya instrument kebijakan moneter dalam pinjaman luar negeri diperbaiki kondisinya.
            Reformasi ini memiliki dampak yang dramastis, sebab pasar modal yang sudah lam tertidur tiba- tiba bangkit hidup dan mencatat peningkatan yang spektakuler dalam nilai dan volume perdagangan untuk ukuran dunia. Reformasi ini memberikan kesempatan bagi terwujudnya sector perbankan swasta yang lebih kompetitif. Tetapi manajemen ekonomi makro mengalami masalah-masalah baru, khususnya karena baik bank-bank maupun otoritasyang mengaturnya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tatanan financial yang sama sekali baru. 
Posisi Indonesia sangat penting bagi kaum kapitalis dunia karena kekayaan alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia ke dalam lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi Indonesia akan memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah keamanan Jepang, yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya dapat menjaga Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor setelah 1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7% pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.
Orde Baru membawa sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari tahun 1971 hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga US$ 25,2 milyar, sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun. Minyak dan gas bumi secara konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor hingga tahun 1987, dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama. Sekitar 80% dari ekspor minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat. Periode dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.
Jepang adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal 1970an hingga akhir 1980an, dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%. Level ekspor ke AS menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan AS sebesar 60 hingga 70% dari tahun 1971 sampai 1987. Konsentrasi ekspor ke AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan dengan penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup ekonomi Jepang.
Dominasi ekspor minyak mulai menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua tahun 1980am, ekspor minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981. Penurunan ini disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun 80an, atau yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul penurunan tajam pada tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi eskpor migas jatuh menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan kehilangan posisinya sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya, kita melihat peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam ekspor tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor produk-produk elektronik pada paruh kedua 1990an. Indonesia jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk industrial.
Tujuan ekspor juga berubah pada akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk industrial dengan negara-negara Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain Jepang dan negara-negara ASEAN menjadi fundamental di dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Tren ekonomi ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai abad ke-20 dapat diringkas dengan skema berikut ini:
Periode
Komoditas Ekspor Kunci
Daerah Produksi Utama
Tujuan Ekspor Utama
Sampai 1870
Kopi
Jawa
Belanda
Sampai 1920an
Gula
Jawa
Asia Selatan dan Timur
Sampai pertengahan 1960an
Karet
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
AS
Sampai pertengahan 1980an
Minyak
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
Jepang
Sampai akhir abad ke-20
Produk manufakur
Jawa
Asia Timur dan ASEAN
Selama era karet pada tahun 1930an dan era minyak 1960an, produksi ekspor terkonsentrasi di pulau luar Jawa. Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan ekspor dari Jawa, yang memiliki tenaga kerja besar dan kapasitas untuk memproduksi barang-barang industrial untuk ekspor.
2.4 Kebijakan Moneter Indonesia Pra dan Pasca Krisis
             Penyebab dari krisis bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah tetapi terutama karena utang wasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sector rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.
            Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997.pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Tujuh tahun Sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam sektor swasta, dari US$ 314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan 3500%.Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka pendek yang diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung yang meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun 1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada tahun 1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000. Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar. Setelah krisis, pertumbuhan tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5% pertahun selama 1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada tahun 2007.
Krisis ekonomi ini adalah jerami yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi demokrasi menjadi semakin tidak tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 – penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati menjadi titik persatuan untuk perjuangan demokrasi.
Rejim Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam satu malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur. Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan dengan ganas. Reformasi memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para reformis. Namun, Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum kapitalis untuk mengeksploitasi massa.
Setelah 12 tahun, menjadi jelas bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan fundamental ke dalam masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan besar ke rejim kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang demokrasi – kendati ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal menyelesaikan problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan, kaum muda, dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi yang hidup dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak boom ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%. Namun bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun 2006 melonjak ke 53%.Ini berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD per kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 3% kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.
Kegagalan Reformasi sangatlah mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan “masa lalu yang baik” di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan dan ada semacam kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi sebenarnya justru meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa demokrasi berarti kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-liberal telah diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak perusahaan dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus. Tidak heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang telah dibawa oleh Reformasi 1998.
2.4.1 Resesi Dunia 2008/2009
Indonesia tidak dapat lari dari pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS (Untuk analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca Dokumen Perspektif Dunia 2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama tahun 2008 dipenuhi dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi menghantam, berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997, Rupiah mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan November 2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari 2008 (2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)
Namun, Indonesia pulih dengan cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD Indonesia tumbuh 4,2%, terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain di wilayah yang sama mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%, dan Malaysia -5,1%. Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar 4,5%, dengan pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu, pada paruh pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai sebelum krisis.
Ekonomi Indonesia tidak terpukul oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara lainnya karena di dekade terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi domestik, dan bukannya perdagangan ekspor.
Faktor lainnya adalah bahwa nilai ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB, sedangkan banyak negeri di Asia memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih tingga. Dengan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada 5 tahun terakhir sebelum krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun 2009, negeri-negeri yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.






BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Sejauh ini langkah ekonomi yang diambil oleh Indonesia untuk mengatasi krisis keuangan global 2008 dan mencegah krisis lainnya dinilai sudah tepat.
"Indonesia meski selama 2009-2012 memberi stimulus fiskal namun tetap dilakukan secara hati-hati. Akibat paduan itu maka keadaan ekonomi baik, tidak terjadi ledakan pengangguran, inflasi terjaga dan demikian indkator ekonomi lainnya,"
Penjelasan tersebut terkait dengan hasil KTT G-20 di Toronto, Kanada yang menyatakan bahwa setiap negara G-20 berkomitmen untuk mencegah dan mengatasi krisis ekonomi melalui berbagai cara yang diserahkan kepada masing-masing negara karena kondisi setiap negara berbeda. Nampak dalam pembahasan para pemimpin dunia bahwa semangat yang ada adalah benar-benar menuntaskan proses pemulihan ekonomi pasca krisis. karena itu yang seolah-olah akan terjadi dua kubu seperti yang diberitakan, tidak terjadi.

3.2  Saran
Berbagai upaya perbaikan perlu dipandang sebagai upaya bersama dari seluruh rakyat Indonesia,termasuk di dalamnya berbagai profesi yang ada, agar upaya yang dijalankan ini dapatberhasil. Dalam hubungan ini kita dapat sedikit berbesar hati bahwa telah mulai terdapattanda-tanda pulihnya kembali perekonomian yang tercermin dari mulai menurunnyatekanan laju inflasi, tingkat nilai tukar rupiah yang stabil, perkembangan suku bungamenurun yang memungkinkan dunia usaha untuk berangsur-angsur melanjutkan kegiatan usahanya. Sementara itu berbagai langkah penyehatan perekonomian sesuaidengan agenda penyehatan perekonomian yang telah ditetapkan, dengan bantuan berbagai lembaga internasional. Yang terakhir adalah upaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan nasional yang merupakan salah satu tonggak yang sangat penting dalam agenda pemulihan perekonomian. Oleh karena itu partisipasi seluruh masyarakat sangat diperlukan.



[1] Kutipan dari Koran Media Indonesia.