BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis
moneter merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara.
Semua Negara praktis pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian
negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek
yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis
moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada
sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan
terjadinya krisis. Krisis ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam
atau yang lebih dikenal dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih
dikuasai kapitalis dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung
kepada mekanisme pasar. Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut ekonomi
berusaha diperbaiki dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis murni
dalam perekonomian suatu Negara.
Untuk indonesia sendiri krisis ekonomi atau krisis moneter
bukanlah hal baru karena indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang
melanda perekonomiannya. Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang
melanda nagara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar
kolaps hingga membuat pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-),
kurs rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan
tanah air. Hal ini tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya
investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka
pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang
mencapai Hiperinflasi. Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang pada
awalnya indonesia merupakan Negara yang ekonominya paling tangguh di asia
tenggara menjadi tidak berkutik akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia
yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari awal.
Kondisi perekonomian Indonesia selalu mengalami krisis,
belum lagi masalah inflasi yang pernah dialami Indonesia. Yang menjadi
pertanyaan saat ini masih cukup kuatkah perekonomian kita untuk menghadapi pola
perekonomian dunia saat ini?. Mengapa demikian, karena saat ini perekonomian
indonesia masih sangat tergantung dengan ekonomi global khususnya negara-negara
maju. Hal ini bisa dibuktikan dengan bila perekonomian dunia mengalami keamjuan
akan dikuti pula dengan kemajuan ekonomi indonesia, namun bila suatu ekonomi
dunia mengalami krisis maka indonesia adalah salah satu negara yang paling
parah mengalaminya. Seperti krisis yang selama ini terjadi semua penyebabnya
berasal dari luar dan tidak ada yang berasal dari dalam perekonomian indonesia
sendiri. Untuk itu perlu bagi kami kelompok 1 untuk mengkaji lebih lanjut
tentang fenomena krisis moneter di Indonesia. Maka dalam makalah ini kelompok
akan membahas sekilas tentang kondisi moneter, Inflasi dan Uang beredar,
Reformasi kebijakan moneter decade 1980-an dan Kebijakan moneter di Indonesia
pra dan pasca krisis.
1.2 Batasan Masalah
Dari latar belakang
diatas maka penulis membatasi pembahasan makalah ini hanya kepada kebijakan
moneter terhadap kondisi moneter, Inflasi dan Uang beredar, Reformasi kebijakan moneter
decade 1980-an dan Kebijakan moneter di Indonesia pra dan pasca krisis.
1.3 Rumusan Masalah
Melihat
banyaknya masalah yang menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi dan masalah
ekonomi global lainya. Maka penulis merumuskan masalah diatas menjadi beberapa
poin bahasan, yaitu:
1. Bagaimanakah
kebijakan dan kondisi moneter yang terjadi di Indonesia?
2. Bagaimanakah
pengaruh jumlah uang beredar dengan inflasi?
3. Bagaimanakah
reformasi kebijakan moneter decade 1980-an?
4. Bagaimana
pula kebijakan moneter Indonesia pra dan pasca mengalam krisis?
1.4 Tujuan Penulisan
Dari
rumusan masalah diatas, maka yan menjadi tijuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan
kebijakan moneter dan kondisi moneter yang terjadi
2. Menjelaskan
pengaruh jumlah uang yang beredar dan inflasi
3. Menjelaskan
reformasi kebijakan moneter decade 1980-an
4. Menjelaskan
kebijakan moneter Indonesia pra dan pasca krisis
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca pada umumnya mampu
memahami kondisi moneter yang terjadi di Negara kita selain itu juga memahami
bagaimana pengaruh peredaran uang dan dampaknya terhadap inflasi. Sehingga
pembaca dapat lebih bijak dalam mengambil tindakn ekonomi yang bermanfat dan
berguna nantinya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Kebijakan
dan Kondisi Moneter
Perbedaan antara orde Baru dan orde lama
paling jelas terlihat dalam masalah perkembangan moneter dan keuangan.
Meningkatnya deficit anggaran belanja, Menyebabkan lonjakan tingkat inflasi
pada decade 1960-an. Namun pemerintah soeharto secara mengejutkan berhasil
mengatasi masalah inflasi dengan cepat dan efektif. Bahkan prestasi penting
dari pemerintah sejak 1966 adalah komitmennya untuk mengendalikan inflasi.
Terdapat masa- masa penuh inflasi khusunya selama masa puncak kejayaan minyak
bumi. Hanya belakangan ini, instrument kebijakan ekonomi tidak bersifat tumpul
dan terbelakang. Sehinggan masalah inflasi bisa cepat ditangani.
Terdapat
lima ciri pokok yang menonjol dalam perilaku dan hasil dari kebijakan moneter
dan pembangunan Finansial:
1. Neraca
modal yang terbuka sejak tahun 1970. Sebagai konsekuensinya , gejolak eksternal
seperti fluktuasi harga minyak bumi dengan cepat memberikan pengaruhnya
terhadap perekonomian domestic, menimbulkan masalah-masalah tertentu terhadap
manajemen uang beredar dalam jangka pendek.
2. Nilai
tukar mata uang tetap ( dengan dolar AS, dan bukan dengan sekelompok mata uang
) selama satu periode yang panjang.
3. Prinsip
anggaran belanja berimbang. Digunakan karena alasan politis yang dibenarkan dan
dalam beberapa hal mengakibtkan berkurangnya fleksibelitas kebijaka fiscal
pemerintah.
4. Dalam
perilaku kebijakan moneter dan fiscal terdapat keteganga dan tarik-menarik :
a. Antara
regulasi dan juga pengendalian lansung, yang secara luas merupakan cirri
perekonomian pada decade 1970-an, dan campur tangan tidak lansung melalui
mekanisme pasar.
b. Tentang
sejauh mana tujuan-tujuan sosial dan pemerataan dapat dicapai bersama- sama
tujuan ekonomi makro.
5. Transformasi
institusi moneter dan finasial terjadi dengan sangat drmatis. “Restocking”
dalam kondisi moneter juga terjadi dan pada mulanya sebagai reaksi tehadap mata
uang rupiah.
2.1.1 Kondisi Moneter
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah
krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini
adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat
kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International
Monetary Fund
(IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan
pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang
dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang
melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam
jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa
mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF
menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program
tersebut.
Penting mengingatkan perlunya membentengi
perekonomian Indonesia dari ancaman krisis yang pasti akan datang lagi suatu
saat nanti. Indonesia perlu memperkuat struktur ekonomi nasional sejak saat ini
untuk membentengi perekonomian dari ancaman krisis global yang masih menghantui
dunia. "Sebab siklus krisis ekonomi akan terus terjadi dan berulang
sehingga pemerintah Indonesia akan berupaya memperkuat kestabilan ekonomi
nasional dan meningkatkan kesehatan keuangan negara," kata Boediono saat
membuka Seminar Strategi Globalisasi Perekonomian Indonesia dalam rangka HUT ke
60 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) diJakarta,Senin(29/11)[1]
Untuk membentengi perekonomian kita dari ancaman krisis yang
pasti akan datang lagi suatu saat nanti, salah satunya adalah perkuatan
struktur ekonomi nasional kita. "Teori neoklasik sering mengabaikan aspek
struktur ini, keuangan negara yang sehat merupakan jangkar kestabilan ekonomi
nasional. Namun, hal ini bukan satu-satunya cara untuk menghidari krisis.
Agar tidak terjadi gelembung ekonomi yang besar harus
diberlakukan disiplin kepada seluruh pelaku ekonomi lain, mulai dari
pemerintah, perbankan, korporasi bahkan di tingkat rumah tangga. Pemerintah
Indonesia tetap harus waspada terhadap kemungkinan krisis yang akan datang. Alur
krisis ekonomi di dunia hampir selalu sama dan hal ini akan menjadi pelajaran
bagi pemerintah.
Sebab, krisis selalu diawali dari sikap bermewah-mewahan
atau optimisme berlebihan (irrational exuberance) kemudian diikuti
timbulnya gelembung ekonomi (bubble). Setelah itu, diikuti keadaan yang
disebut dengan unsustainable gap, dan puncaknya kebangkrutan dan krisis
kepercayaan (collapse of confidence). Kita jangan mengulang kesalahan
atau kejadian itu. Biasanya ini disebabkan pada satu hal kurangnya disiplin
pada manusia, orang hanyut dalam kemewahan yang tidak rasional. Jika negara dan
pemerintah ikut hanyut dalam arus maka keadaannya akan sangat parah.
2.1.2 Ekonomi Indonesia
Saat ini, satu dekade kemudian,
Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi
negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang
berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga
cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui
"perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih
dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke
pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun
2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik
bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi
lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi
minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10
milyar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada
tahun 2006 tambahan US$5 milyar telah
tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh
pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran
utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah
mempunyai US$15 milyar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan.
Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun
1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang
besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan
keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai
hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara
Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber
keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan
untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan
beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi
pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau
sebesar 15% dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus
2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun
2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia
sekarang membelanjakan 37%dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat
desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata.
2.1.3 Gambaran Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia
|
|
Mata uang
|
|
Tahun fiscal
|
Tahun kalender
|
Organisasi perdagangan
|
|
Statistik [1]
|
|
Peringkat PDB
|
|
PDB
|
|
Pertumbuhan PDB
|
|
PDB per kapita
|
|
PDB berdasarkan sector
|
|
Pop di bawah garis
kemiskinan
|
|
Tenaga kerja
|
|
Tenaga kerja berdasarkan pekerjaan
|
|
Industri utama
|
minyak bumi dan gas alam; tekstil,
perlengkapan, dan sepatu; pertambangan, semen, pupuk kimia, plywood; karet;
makanan; pariwisata
|
Perdagangan Internasional[2]
|
|
Ekspor
|
|
Komoditi utama
|
|
Mitra dagang
|
|
Impor
|
|
Komoditi utama
|
mesin dan peralatan; kimia, bahan
bakar, makanan
|
Mitra dagang
|
Jepang 13%, Singapura 12,8%, Cina
9,1%, Amerika Serikat
8,3%, Thailand 5,2%, Australia 5,1%, Korea
Selatan 4,7%, Arab
Saudi 4,6% (2003)
|
Keuangan publik [3]
|
|
Utang pemerintah
|
$454.3 milyar (56.2% dari GDP)
|
Pendapatan
|
|
Belanja
|
|
Bantuan ekonomi
|
2.2 Inflasi Dan Uang Beredar
Di
Indonesia, pada periode 1988 – 2006 terdapat hubungan yang
positif antara tingkat inflasi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2).
Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of
Money)
Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand
terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara
jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara
lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh
masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan
jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang
yang diminta.
Gambar di atas
menggambarkan hubungan antara supply dan demand terhadap uang. Sumbu horizontal
menggambarkan jumlah uang beredar, sumbu vertikal kiri menggambarkan nilai
uang, 1/P, dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga, P. Sumbu-sumbu
vertikal menggambarkan bahwa saat nilai uang tinggi, maka tingkat harga akan
rendah, dan sebaliknya pada tingkat harga yang tinggi maka nilai uang akan
rendah. Kedua kurva menggambarkan supply dan demand terhadap uang. Kurva supply
berbentuk vertikal karena jumlah uang beredar ditetapkan oleh Bank Sentral.
Kurva demand memiliki slope negatif, mengindikasikan bahwa saat nilai uang
rendah dan tingkat harga tinggi, maka permintaan terhadap uang akan tinggi.
Pada titik equilibrium, A, jumlah uang yang diedarkan dan jumlah uang yang
diminta masyarakat berada dalam keseimbangan. Ekuilibrium antara supply dan
demand terhadap uang menentukan nilai uang dan tingkat harga barang dan jasa.
Jika Bank Sentral mengubah jumlah uang yang beredar, misalnya dengan mencetak
lebih banyak uang, ekuilibrium supply dan demand terhadap uang akan berubah
seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Bertambahnya jumlah uang beredar menggeser kurva
supply dari MS1 ke MS2, sehingga titik equilibrium ikut bergeser dari A ke B.
Akibatnya, nilai uang turun dari ½ ke ¼, dan tingkat harga equilibrium naik
dari 2 ke 4. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar mendorong
terjadinya kenaikan harga yang menyebabkan nilai uang menjadi turun.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dampak langsung
dari injeksi moneter yang dilakukan Bank Sentral adalah meningkatnya supply
uang. Sebelum injeksi, perekonomian berada pada titik equilibrium A. Pada titik
ini, tingkat harga seimbang dengan jumlah uang yang diminta masyarakat. Saat
jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama masyarakat memiliki
lebih banyak uang dari yang mereka minta. Meningkatnya jumlah uang menyebabkan
naiknya permintaan terhadap barang dan jasa. Jika jumlah barang dan jasa yang
diminta tidak seimbang dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka akan
terjadi peningkatan harga. Peningkatan harga kemudian mendorong naiknya jumlah
uang yang diminta masyarakat. Pada akhirnya, perekonomian akan mencapai
equilibrium baru, yaitu titik B, saat jumlah uang yang diminta kembali seimbang
dengan jumlah uang yang diedarkan.
Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat
harga ditentukan dan berubah
seiring
dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity
theory of money). Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam
suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah
uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Secara
umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap
perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara
jumlah uang beredar, output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan matematis
sebagai berikut:
M
x
V = P x Y
Dimana P adalah tingkat harga (GDP deflator), Y
adalah jumlah output (real GDP),
M
adalah jumlah uang beredar, PxY adalah nominal GDP, dan V adalah velocity of
money (perputaran uang) mengukur tingkat dimana uang bersirkulasi dalam
perekonomian (Mankiw, 2003). Atau dapat dikatakan mengukur kecepatan perpindahan
uang dari satu orang ke orang lainnya. Velocity of money dapat dihitung melalui
pembagian antara GDP nominal dengan jumlah uang beredar. Secara matematis,
dapat ditulis sebagai berikut:
V
= ( P x Y ) / M
Persamaan di atas dapat dianggap sebagai suatu
definisi yang menunjukkan perputaran V sebagai rasio GDP nominal, PY,
terhadap kuantitas uang M. Persamaan tersebut merupakan suatu identitas.
Jika satu atau lebih variabel itu berubah, maka satu atau lebih variabel
lainnya juga harus berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya, jika jumlah
uang beredar meningkat, maka akibatnya dapat dilihat dari ketiga
variabel lainnya: harga harus naik, kuantitas output harus naik, atau kecepatan
perputaran uang harus turun.
2.2.1
Hubungan Jumlah Uang Beredar Dan Inflasi Di Indonesia
Friedman dan Schwartz menulis dua makalah yang
mendokumentasi sumber dan pengaruh perubahan dalam kuantitas uang selama
periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975 di Amerika Serikat. Secara empiris,
Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi hubungan antara inflasi dan
pertumbuhan jumlah uang beredar. Hasil penelitian Friedman dan Schwartz
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat decade dengan pertumbuhan uang tinggi
cenderung memiliki inflasi yang tinggi, dan dekade-dekade dengan pertumbuhan
uang rendah cenderung memiliki inflasi yang rendah.
Hasil yang sama diperoleh dari perbandingan tingkat
rata-rata inflasi dan tingkat rata-rata pertumbuhan uang di lebih dari 100
negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian tersebut, terdapat hubungan yang
jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-negara dengan pertumbuhan
uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, sementara negara-negara
dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inlfasi yang rendah.
Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan
hubungan inflasi dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka
pendek. Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam
jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi
dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama
periode 10-tahun.
Makalah ini akan mencoba menganalisis hubungan
antara inflasi dengan jumlah uang beredar di Indonesia. Data yang digunakan
adalah data tahun 1988 – 2006 yang bersumber dari Asian Development Bank,
sebagai berikut:
Tabel
1. Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar dan
PDB Nominal
2.3 Reformasi Kebijakan Moneter
Dekade 1980-an
Pembangunan sesudah tahun 1982
berbeda dengan pembangunan pada decade 1970-an dalam tiga hal penting:
1.
Harga Minyak bumi jatuh dan tetap rendah. Karena itu
dampaknya terhadap inflasi adalah dampak moneter akibat membaiknya terms of
trade menghilang, dan dalam tahun-tahun tertentu menyebabkan dampak yang
negative.
2.
Pemerintah secara perlahan mulai mengembangkan
pendekatan yang lebih canggih terhadap mnajemen kebijakan moneter, khususnya
melalui peningkatan campur tangan secara tidak lansung ketimbang pengendalian
dan pengaturan lansung.
3.
Terutama karena campur tangan tidak lansung, tingkat
inflasi tetap rendah dan selama decade 1980-an pada umumnya, tingkat inflasi
kurang dari 10 persen.
Pada decade ini banyak reformasi besar terjadi, yang Pertama dilaksanakan pada bulan juni 1983. Bank Negara kini
diizinkan untuk menentukan sebagian tingkat bunga deposito dan pinjaman,kecuali
dalam kasus program prioritas yang masih banyak berlansung. Batas maksimum
pemberian kredit sebagian telah ditiadakn dan ketersediaan kredit bersubsidi
dikurangi.Selain itu juga dilakukan operasi pasar yang lebih terbuka dengan
dikembangkannya instrument kebijakan moneter yang baru. Yang kedua
bulan oktober 1988, semua bank dalam negeri jika sehat diizinkan untuk secara
bebas membuka cabang-cabang baru, serta bank-bank swasta baru diizinkan untuk
beroperasi. Dan selanjutnya instrument kebijakan moneter dalam pinjaman luar
negeri diperbaiki kondisinya.
Reformasi ini memiliki dampak yang
dramastis, sebab pasar modal yang sudah lam tertidur tiba- tiba bangkit hidup
dan mencatat peningkatan yang spektakuler dalam nilai dan volume perdagangan
untuk ukuran dunia. Reformasi ini memberikan kesempatan bagi terwujudnya sector
perbankan swasta yang lebih kompetitif. Tetapi manajemen ekonomi makro
mengalami masalah-masalah baru, khususnya karena baik bank-bank maupun
otoritasyang mengaturnya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tatanan
financial yang sama sekali baru.
Posisi Indonesia sangat penting bagi kaum kapitalis dunia
karena kekayaan alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia
ke dalam lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi
Indonesia akan memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah
keamanan Jepang, yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya
dapat menjaga Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik
ekspor setelah 1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari
sekitar 3-7% pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.
Orde Baru membawa
sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari tahun 1971
hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga US$ 25,2
milyar, sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun. Minyak dan gas
bumi secara konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor hingga
tahun 1987, dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama. Sekitar 80% dari ekspor
minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat. Periode dari tahun 1971
sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.
Jepang adalah tujuan ekspor utama
dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal 1970an hingga akhir 1980an,
dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%. Level ekspor ke AS
menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan AS sebesar 60
hingga 70% dari tahun 1971 sampai 1987. Konsentrasi ekspor ke AS dan Jepang ini
mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan dengan penghancuran rejim
Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan dengan kebijakan luar
negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup ekonomi Jepang.
Dominasi ekspor minyak mulai menurun
setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua tahun 1980am, ekspor minyak
jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981. Penurunan ini disebabkan
terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun 80an, atau yang disebut
dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari puncaknya $35 per
barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul penurunan tajam pada tahun
1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi eskpor migas jatuh menjadi
20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan kehilangan posisinya sebagai
komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya, kita melihat peningkatan hebat
dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam ekspor tekstil dan garmen pada
pertengahan 1990an, dan dalam ekspor produk-produk elektronik pada paruh kedua
1990an. Indonesia jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor
produk-produk industrial.
Tujuan ekspor juga berubah pada
akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk industrial dengan negara-negara
Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain Jepang dan negara-negara ASEAN
menjadi fundamental di dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Tren ekonomi
ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai abad ke-20 dapat diringkas
dengan skema berikut ini:
Periode
|
Komoditas Ekspor Kunci
|
Daerah Produksi Utama
|
Tujuan Ekspor Utama
|
Sampai 1870
|
Kopi
|
Jawa
|
Belanda
|
Sampai 1920an
|
Gula
|
Jawa
|
Asia Selatan dan Timur
|
Sampai pertengahan 1960an
|
Karet
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama
Sumatra)
|
AS
|
Sampai pertengahan 1980an
|
Minyak
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama
Sumatra)
|
Jepang
|
Sampai akhir abad ke-20
|
Produk manufakur
|
Jawa
|
Asia Timur dan ASEAN
|
Selama era karet pada tahun 1930an
dan era minyak 1960an, produksi ekspor terkonsentrasi di pulau luar Jawa.
Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan
ekspor dari Jawa, yang memiliki tenaga kerja besar dan kapasitas untuk
memproduksi barang-barang industrial untuk ekspor.
2.4
Kebijakan Moneter Indonesia Pra dan
Pasca Krisis
Penyebab dari krisis bukanlah
fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah tetapi terutama karena utang wasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sector rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.
lemah tetapi terutama karena utang wasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sector rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.
Anwar
Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997.pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997.pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Tujuh tahun Sebelum krisis ekonomi
1997, ada influks kapital yang besar ke dalam sektor swasta, dari US$ 314 juta
pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan
3500%.Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka
pendek yang diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung
yang meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari
pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun
1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan
Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari
reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan
perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang
publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah
jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi
Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada tahun
1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000.
Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini
berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005,
dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar. Setelah krisis, pertumbuhan
tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5% pertahun selama
1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada tahun 2007.
Krisis ekonomi ini adalah jerami
yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi demokrasi menjadi semakin tidak
tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 – penyerangan markas Partai
Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati menjadi titik
persatuan untuk perjuangan demokrasi.
Rejim
Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan
dalam satu malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk
mundur. Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan
bukan perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat
berarti konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik
negara diprivatisasi dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan
dengan ganas. Reformasi memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para
reformis. Namun, Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum
kapitalis untuk mengeksploitasi massa.
Setelah 12 tahun, menjadi jelas bagi
siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan fundamental ke dalam
masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan besar ke rejim
kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang demokrasi – kendati
ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal
menyelesaikan problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani,
nelayan, kaum muda, dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi.
Persentasi populasi yang hidup dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim)
pada tahun 1996 – puncak boom ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006
angka ini menjadi 8,5%. Namun bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari,
maka kemiskinan pada tahun 2006 melonjak ke 53%.Ini berarti bahwa lebih dari
setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD per kapita $3900 (angka tahun
2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 3% kekayaan, sedangkan 10%
penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.
Kegagalan Reformasi sangatlah
mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan “masa lalu yang baik”
di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan dan ada semacam
kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi sebenarnya justru
meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa demokrasi berarti
kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-liberal telah
diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak perusahaan
dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus. Tidak
heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang telah
dibawa oleh Reformasi 1998.
2.4.1 Resesi Dunia 2008/2009
Indonesia tidak dapat lari dari
pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS (Untuk
analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca Dokumen Perspektif Dunia
2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama tahun 2008 dipenuhi
dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi menghantam,
berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997, Rupiah
mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan November
2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari 2008
(2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)
Namun, Indonesia pulih dengan cepat
dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD Indonesia tumbuh 4,2%,
terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain di wilayah yang sama
mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%, dan Malaysia -5,1%.
Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar 4,5%, dengan
pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu, pada paruh
pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat
setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai
sebelum krisis.
Ekonomi Indonesia tidak terpukul
oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara lainnya karena di dekade terakhir
pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi domestik, dan bukannya
perdagangan ekspor.
Faktor lainnya adalah bahwa nilai
ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB, sedangkan banyak negeri di Asia
memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih tingga. Dengan menurunnya
pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada 5 tahun terakhir sebelum
krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun 2009, negeri-negeri
yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejauh ini langkah ekonomi yang
diambil oleh Indonesia untuk mengatasi krisis keuangan global 2008 dan mencegah
krisis lainnya dinilai sudah tepat.
"Indonesia meski selama 2009-2012 memberi stimulus fiskal namun tetap dilakukan secara hati-hati. Akibat paduan itu maka keadaan ekonomi baik, tidak terjadi ledakan pengangguran, inflasi terjaga dan demikian indkator ekonomi lainnya,"
Penjelasan tersebut terkait dengan hasil KTT G-20 di Toronto, Kanada yang menyatakan bahwa setiap negara G-20 berkomitmen untuk mencegah dan mengatasi krisis ekonomi melalui berbagai cara yang diserahkan kepada masing-masing negara karena kondisi setiap negara berbeda. Nampak dalam pembahasan para pemimpin dunia bahwa semangat yang ada adalah benar-benar menuntaskan proses pemulihan ekonomi pasca krisis. karena itu yang seolah-olah akan terjadi dua kubu seperti yang diberitakan, tidak terjadi.
"Indonesia meski selama 2009-2012 memberi stimulus fiskal namun tetap dilakukan secara hati-hati. Akibat paduan itu maka keadaan ekonomi baik, tidak terjadi ledakan pengangguran, inflasi terjaga dan demikian indkator ekonomi lainnya,"
Penjelasan tersebut terkait dengan hasil KTT G-20 di Toronto, Kanada yang menyatakan bahwa setiap negara G-20 berkomitmen untuk mencegah dan mengatasi krisis ekonomi melalui berbagai cara yang diserahkan kepada masing-masing negara karena kondisi setiap negara berbeda. Nampak dalam pembahasan para pemimpin dunia bahwa semangat yang ada adalah benar-benar menuntaskan proses pemulihan ekonomi pasca krisis. karena itu yang seolah-olah akan terjadi dua kubu seperti yang diberitakan, tidak terjadi.
3.2 Saran
Berbagai upaya
perbaikan perlu dipandang sebagai upaya bersama dari seluruh rakyat
Indonesia,termasuk di dalamnya berbagai profesi yang ada, agar upaya yang
dijalankan ini dapatberhasil. Dalam hubungan ini kita dapat sedikit berbesar
hati bahwa telah mulai terdapattanda-tanda pulihnya kembali perekonomian yang
tercermin dari mulai menurunnyatekanan laju inflasi, tingkat nilai tukar rupiah
yang stabil, perkembangan suku bungamenurun yang memungkinkan dunia usaha untuk
berangsur-angsur melanjutkan kegiatan usahanya. Sementara itu berbagai langkah
penyehatan perekonomian sesuaidengan agenda penyehatan perekonomian yang telah
ditetapkan, dengan bantuan berbagai
lembaga internasional. Yang
terakhir adalah upaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan nasional
yang merupakan salah satu
tonggak yang sangat penting dalam agenda pemulihan perekonomian. Oleh karena itu partisipasi seluruh
masyarakat sangat diperlukan.